Sponsor

Tamandisi Di Pincuran Gadiang

10.2. Tamandisi Di Pincuran Gadiang
Yang dimaksud dengan tamandisi di pincuran gadiang yaitu kesalahan yang dilakukan seorang penghulu karena mengawini salah seorang anak kemanakan sekorong sekampuang yang dilarang oleh adat.
10.3. Tapanjek Dilansek Masak
Yang dimaksud dengan tapanjek dilansek masak yaitu suatu kesalahan yang dilakukan oleh seorang penghulu karena melakukan kejahatan kriminal, seperti pencurian, penipuan dan sebagainya.
10.4. Takuruang Dibiliak Dalam
Yang dimaksud dengan takuruang dibiliak dalam yaitu suatu kesalahan yang dilakukan oleh seorang penghulu karena tertangkap basah melakukan perbuatan asusila dengan seorang perempuan yang bukan mukhrimnya.
11. Sifat Sako (Gelar Pusako) Nan Ampek
Sako (gelar) seorang penghulu adalah salah satu harta pusaka yang bersifat immaterial yang kita warisi dari nenek moyang kita secara turun temurun. Sesuai dengan ketentuan adat jika seorang penghulu meninggal dunia, maka soko (gelar) yang disandangnya akan jatuh kepada salah seorang anak kemenakan yang bertali darah sesuai dengan mekanisme pemilihan seorang penghulu menurut ketentuan adat. Jika seorang penghulu / ninik mamak meninggal ada 4 kemungkinan yang akan terjadi terhadap soko (gelar) yang disandangnya yang dalam adat disebut dengan “sifat soko nan ampek” yaitu :
11.1. Dipakai
Yang dimaksud dengan dipakai adalah gelar pusako (soko) tersebut telah memenuhi persyaratan sepanjang adat untuk disandang / dijabat oleh salah seorang dari anak kemenakan yang bersangkutan. Dengan kata lain telah ada kesepakatan diantara anak kemenakan yang sepayung sapatagak. Ketentuan adat tentang ini menyatakan :
Tagak panghulu sapakat kaum, tagak rajo sapakat rantau
Lah bulek aia ka pambuluh, lah bulek kato kamufakat
Lah data balantai papan, lah licin balantai kulik
Rumahlah sudah tokok tak babunyi
Api lah padam puntuang tak barasok.
Setelah itu dilanjutkan dengan upacara peresmian setelah mendapat persetujuan dari ninik mamak pasukuan serta kerapatan adat nagari untuk dipakai/disandang/dijabat oleh anak kemenakan yang telah disepakati tersebut. (Darah di kacau, dagiang dilapah, tanduak ditanam).
11.2. Dilipek
Yang dimaksud dengan dilipek adalah apabila diantara anak kemenakan tidak ada kata sepakat tentang calon yang akan menjabat soko (gelar). Dengan kata lain diantara ahli waris terjadi pertentangan dan perselisihan tentang calon yang akan ditetapkan untuk menyandang (memakai) gelar tersebut. Menjelang terjadi kesepakatan diantara ahli waris (anak kemenakan) maka gelar pusako (soko) tersebut buat sementara dilipek dulu, ibarat kain atau baju, karena orang yang akan memakainya belum jelas.
Biasanya untuk malipek gelar ini dibebani dengan sejumlah kewajiban tertentu oleh kerapatan adat nagari yang bersangkutan.
Dari penjelasan diatas jelas terlihat bagi kita bahwa kata sepakat (mufakat) diantara anak kemenakan yang sekaum (ahli waris) merupakan syarat mutlak untuk dapat dipakainya suatu soko (gelar) di Minangkabau, seperti apa yang ditegaskan oleh kaedah adat yang berbunyi : “tagak panghulu sapakat kaum, tagak rajo sapakat rantau”
11.3. Ditaruah / Tataruah
Yang dimaksud dengan ditaruah / tataruah yaitu suatu soko (gelar pusako) belum dapat dipakai, karena didalam kaum tersebut belum ada kemenakan laki-laki yang berhak untuk menyandang soko (gelar pusako) tersebut, keadaan ini di sebut dengan putuih warih jantan) yang ada hanya ahli waris (kemenakan) yang perempuan saja. Sampai lahir seorang ahli waris laki-laki dalam kaum tersebut, maka status dari soko (gelar pusako) tersebut dalam adat Minangkabau disebut ditaruah/tataruah atau disimpan saja dulu sampai orang yang akan memakai gelar atau soko tersebut lahir dalam kaum tersebut, yaitu seorang waris laki-laki (anak kemenakan laki yang bertali darah).
11.4. Dibanam / Tabanam
Yang dimaksud dengan soko (gelar-pusako) berstatus dibanam/tabanam, apabila di dalam kaum tersebut tidak ada lagi waris laki-laki yang bertali darah yang berhak memakai gelar pusaka (sako) tersebut, atau dalam bahasa adat disebut dengan “Putuih warih nasab”. Kalau bertemu keadaan yang demikian, maka soko (gelar pusako) dari kaum tersebut buat selama-lamanya tidak dipakai lagi.
Kok putuih warih nasab
Salamo aie ilia, salamo gagak itam
Nan soko dianyuik ka aie dareh
Dibuang ka tanah lakang
Nan soko tak bapakai lai.
Jadi kesimpulan dari sifat sako nan ampek adalah bahwa suatu sako berstatus dipakai apabila sapakat sagalo waris, dilipek apabila bacupang waris (belum sepakat sagalo waris), ditaruah /tataruah apabila putuih waris jantan, dibanam / tabanam apabila putuih (putus) waris nasab dalam suatu kaum.
12. Dasar Nagari Nan Ampek
Nagari sebagai satu kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai wilayah dan batas-batas tertentu, dalam proses kejadiannya nagari melalui 4 (empat) tahapan. Keempat tahapan tersebut adalah dasar nagari nan 4 atau proses kejadian nagari. Adapun keempat tahapan tersebut adalah sebagai berikut ;
12.1. Taratak
Taratak berasal dari kata tatak yang berarti membuat perkampungan yaitu tempat yang mula-mula ditatak didiami / dibuat oleh nenek moyang kita untuk dijadikan tempat kediaman oleh beberapa keluarga yang bertali darah. Pada mulanya ditaratak ini kehidupan belum begitu teratur karena baru ditatak (dibuat).
12.2. Dusun
Apabila taratak yang didiami oleh beberapa keluarga yang bertali darah bersatu menjadi kelompok disebut dusun, yaitu suatu tempat yang didiami oleh beberapa keluarga yang bertali darah. Disini sudah mulai ada aturan yang diatur sedemikian rupa menurut situasi kondisi pada waktu itu, seperti peraturan-peraturan cara berkeluarga dan bergaul, tetapi jumlahnya relative masih sangat terbatas.
12.3. Koto
Yaitu kumpulan dari beberapa dusun yang kemudian secara mufakat membuat suatu kelompok hidup bermasyarakat yang disebut koto. Dalam koto ini sudah ada ketentuan untuk membuat sawah dan ladang serta ketentuan hidup bermasyarakat.

12.4. Nagari
Yaitu kumpulan dari koto-koto bersepakat (sakato) untuk membentuk nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Kehidupan dalam nagari itu sudah diatur sedemikian rupa sehingga menjadi suatu kesatuan hidup yang dilandasi oleh ketentuan hidup bermasyarakat yang disebut dengan Nagari. Ketentuan adat tentang hal ini menyatakan :
Nagari Bapaga undang
Kampuang bapaga jo pusako
Inggirih bakarek kuku
Dikarek pisau sirawik
Pangarek batuang tuonyo
Batuang tuo ambiak kalantai
Nagari baampek suku
Dalam suku babua paruik
Kampuang diagiah batuo
Rumah diagiah batungganai.
13. Proses Mencari Kebenaran
Kebenaran (bana) adalah sesuatu yang kita cari dan kita dambakan dalam hidup. Dalam proses mencari kebenaran banyak hambatan dan rintangan yang kita temui dalam perjalanan hidup, agar perjalanan hidup tidak tersesat atau salah arah, sehingga kita dapat dengan selamat mencapai tujuan, cita-cita yang ingin kita capai dalam hidup yaitu bana (kebenaran). Adat sebagai pedoman dan pegangan hidup memberikan pedoman / pegangan dalam proses mencari kebenaran. Proses mencari kebenaran ini, biasa juga disebut dengan metode berfikir Minangkabau. Adapun proses / metode berfikir Minangkabau tersebut adalah pikia palito hati, nanang hulu bicaro, aniang saribu aka, dek saba bana mandatang.
13.1. Pikia Palito Hati
Manusia hidup pada hakikatnya adalah mencari kebenaran, agar kehidupannya bisa selamat sampai ketujuan yang dicita-citakan. Dalam rangka mencari kebenaran tersebut manusia harus mempergunakan pikirannya sebagai alat (instrument) yang diberikan Allah. Sebelum mengerjakan suatu pekerjaan harus dipikirkan terlebih dahulu segala sesuatu dengan matang tentang baik buruknya,suatu perbuatan kalau tidak akan berakhir dengan kesia-siaan. Dengan kata lain ia tidak akan selamat sampai ketujuannya, bahkan bisa makin jauh tersesaat dari tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, kalau segala sesuatu tidak dipikirnya matang-matang. Demikian besarnya fungsi pikirkan bagi manusia, sehingga manusia tersebut disebut juga makhluk berfikir yang membedakannya dengan binatang atau hewan.
Pikiran itu merupakan palito (pelita, penerang) hati yang akan menuntun seseorang untuk menemukan kebenaran dalam hidup. Itulah arti dari kata adat “pikia palito hati”.


13.2. Nanang Hulu Bicaro
Setelah segala sesuatu dipikirkan dengan sebaik-baiknya (secara matang) dengan mempertimbangkan (merenungkan) segala baik dan buruk serta mudarat dan manfaatnya sebelum dikomunikasikan harus direnungkan terlebih dahulu sehingga kebenaran yang akan kita sampaikan dapat diterima orang. Proses tersebut disebut dalam adat, “Nanang Hulu bicaro. Tentang hal ini adat menyatakan :
Mangango mangko mangecek
Maju salangkah madok suruik
Bakato sapatah dipikiri
Mulutmu harimaumu
Kok pandai bakato-kato
Ibarat santan jo tangguli
Kok tak pandai bakato-kato
Bak alu pancukia duri.
13.3. Aniang Saribu Aka
Setelah sesuatu masalah dipikirkan dan direnungkan tentu baik dan buruknya, mudarat dan manfaatnya baru kemudian dikomunikasikan, dibicarakan. Jangan terburu nafsu dan emosional dan mengambil keputusan sesuatu tetapi sampaikan kebenaran tersebut dengan cara dan taktik serta strategi yang benar (saribu aka), sehingga kebenaran itu dapat diterima oleh semua orang. Proses ini di sebut dengan “aniang saribu aka”.
13.4. Dek Saba Bana Mandatang
Suatu kebenaran yang kita cari jika telah melalui tahap-tahap diatas, menurut ketentuan adat akan menemukan kebenaran yang dapat diterima dengan baik oleh orang banyak. Karena kebenaran tersebut telah dipikirkan dan dipertimbangkan secara matang serta dipikirkan dengan pikiran dan hati yang tenang, tanpa didorong oleh nafsu dan emosional (sabar). Akhirnya dengan proses dan usaha yang maximal serta diiringi dengan kesabaran kesabaran maka, kebenaran yang kita cari akan kita capai atau datang dengan sendirinya. Jadi keempat tahapan ini adalah merupakan suatu proses yang berkaitan satu sama lain sebagai satu kesatuan dalam mencari kebenaran menurut adat Minangkabau .
14. Sumber Kebenaran Menurut Adat ada Empat
Kebenaran adalah sesuatu yang didambakan seperti telah disinggung dalam uraian diatas. Oleh sebab itu dengan berpedoman kepada ketentuan adat Minangkabau sebagai pedoman dan pegangan hidup seharusnya kita harus mampu mewujudkan kebenaran tersebut dalam segala bidang dan aspek kehidupan. Seseorang dalam mencari kebenaran harus mengetahui sumber atau tempat dimana kebenaran tersebutdapat kita temukan. Menurut adat Minangkabau asal (sumber) kebenaran tersebut ada 4 (empat) yaitu :

14.1. Dari Dalil Kato Allah

Sumber kebenaran yang utama dan pertama menurut adat Minangkabau adalah bersumber dari dalil kato Allah sebagaimana tertuang dalam Al-Quran. Kebenaran yang terdapat dalam Al-Quran tersebut sifatnya absolute, karena kebenaran tersebut bersumber dari Allah SWT Yang Maha benar.
14.2. Dari dalil Kato Nabi
Sumber kebenaran berikut adalah kebenaran yang bersumber dari dalil kato Nabi, yaitu Hadits dan Sunnah yang merupakan penjabaran dari dalil kato Allah Al-Quran sebagai sumber hukum yang utama hanya mengatur hal-hal yang pokok dan umum sifatnya. Sedangkan dalil kato nabi berupa sunah / hadis nabi merupakan ketentuan yang lebih khusus yang menjabarkan Al-Quran sebagai sumber hukum pokok dan utama, dengan kata lain sunnah dan hadis adalah merupakan ketentuan pelaksanaan dari dalil kato Allah. (Al-Quran).


14.3. Dari Dalil Kato Pusako
Kato Pusako adalah merupakan sumber kebenaran ketiga menurut adat Minangkabau setelah Al-Quran dan Sunnah / Hadis. Kebenaran kato pusako ini bersumber dari kebenaran yang bersumber pada alam takambang jadi guru yang pada hakekatnya juga merupakan bagian dari ayat Allah disamping ayat-ayat Allah yang terdapat dalam Al-Quran. Adat mengajarkan kita agar membaca ayat-ayat Allah seperti yang terdapat pada alam takambang, disamping ayat-ayat Allah yang terdapat dalam A-Qur’an seperti kata Adat.
“Malantiang manuju tangkai, tantang bana buah ka rareh (jatuah), manabang manuju pangka, tantang bana rueh ka rabah, Ma-maek manuju barih, tantang bana lubang ka tambuak.”
14.4. Dari Dalil Kato Mufakat
Kato mufakat merupakan sumber kebenaran keempat dalam menyelesaikan persoalan hidup dan kehidupan menurut adat Minangkabau. Karena kebenaran yang diperoleh melalui kato mufakat pada hakekatnya juga bersumber dari Allah, Sunnah / Hadis Nabi dan Kato Pusako. Hasil yang dicapai dengan musyawarah mufakat (kato mufakat) di Minangkabau pada hakekatnya itulah yang raja di Minangkabau, karena apa yang telah disepakati melalui proses masyarakat mufakat merupakan hukum (mengikat) bagi para pihak yang membuatnya (yang bermufakat). Tentang kato mufakat ini adat Minangkabau menyatakan :
Walaupun inggok nan mancakam
Kuku nan tajam tak baguno
Bago mamegang tampuak alam
Kato mufakat nan kuaso
Artinya yang menjadi raja di Minangkabau sesungguhnya bukanlah “orang” tetapi adalah kato mufakat yang diperoleh melalui proses musyawarah mufakat. Dalam ketentuan adat dikatakan : “rajo adil rajo disambah, rajo lalim rajo disanggah”. Demikianlah bukti kekuatan kato mufakat yang menjadi sumber kebenaran dalam adat Minangkabau.
15. Hal-hal Yang Menjauhkan Kebenaran ada 4
Ada 4 faktor yang bisa menjauhkan kita dari kebenaran. Kalau keempat hal ini kita abaikan atau tidak kita waspadai, maka kita tidak akan menemukan kebenaran yang kita cari guna menyelesaikan persoalan-persoalan hidup yang timbul dalam kehidupan, baik dalam kehidupan pribadi, maupun dalam kehidupan berkeluarga serta bermasyarakat. Adapun 4 faktor yang bisa menjauhkan kita dari kebenaran manurut adat Minangkabau yaitu :
15.1. Dek Takuik Sarato Malu
Takut dan malu adalah sifat-sifat yang bisa menjauhkan seseorang dari kebenaran. Takut dan malu akan membelenggu seseorang untuk berfikir objektif dalam menemukan dan menyampaikan kebenaran. Adat Minangkabau mengajarkan kita, kalau kita akan menyampaikan kebenaran harus menjauhkan sifat takut dan malu tersebut. Kita tidak perlu takut dan malu untuk menyampaikan kebenaran. Kalau kita takut dan malu maka kebenaran tidak akan bisa diketahui orang. Ketentuan adat tentang hal ini menyatakan :
Mandi di ilia-ilia, bakato dibawah-bawah
Kok dianjak urang batu supadan
Diubah urang kato pusako
Dialiah urang kato nan bana
Busuangkan dado ang buyuang
Caliakkan tando laki-laki
Jan takuik nyawa malayang
Jan cameh darah taserak
Basilang tombak dalam parang
Sabalun aja bapantang mati
Namun bana diubah tidak
Baribu sabab mandatang
Namun namun bana diubah tidak
15.2. Dek Kasiah Sarato Sayang
Disamping sifat takut dan malu, sifat kasih dan sayang juga bisa menjauhkan kita dari kebenaran. Kasih dan sayang harus dibuang jauh-jauh kalau kita akan menyampaikan kebenaran. Ketentuan ini harus betul-betul diketahui oleh seorang pemimpin atau penghulu di Minangkabau dalam memimpin anak kemenakan, korong kampuang dan nagari. Untuk menyampaikan dan menegakkan kebenaran adat mengajarkan :
Tibo dimato indak dipiciangkan
Tibo didado indak dibusuangkan
Tibo diparuik indak dikampihkan
Baruak dirimbo disusukan
Anak dipangku dicampakkan
Kato bana dianjak tidak
Luruih bana dipagang sungguah.
15.3. Dek Labo Sarato Rugi
Faktor-faktor berikutnya yang bisa menjauhkan kita dari kebenaran adalah sifat yang senantiasa mempertimbangkan laba dan rugi dalam menyampaikan kebenaran. Kalau kebenaran itu mendatangkan keuntungan (laba) kepada kita baru kita sampaikan tetapi sebaliknya, kalau akan mendatangkan kerugian lalu kebenaran tersebut kita sembunyikan. Sifat yang seperti ini sangat dicela dan tidak dibenarkan oleh adat Minangkabau, karena dalam mencapai kebenaran selalu dilihat dari sisi untung dan rugi (labo jo rugi) secara materil. Sifat seperti ini di buang jauh-jauh, karena tidak di benarkan oleh adat. Jan kuniang karano kunik, jan lamak karano santan.
15.4. Dek Puji Sarato Sanjuang
Sanjuang dan pujian menurut adat adalah unsur-unsur yang juga bisa menjauhkan kita dari kebenaran. Sanjungan dan pujian yang berlebih-lebihan yang diberikan seseorang kepada kita bisa melumpuhkan atau mematikan objektivitas kita dalam melihat kebenaran sesuatu. Adat Minangkabau mengingatkan kita, terutama ninik mamak/pemimpin harus mewaspadai setiap sanjungan dan pujian yang diberikan seseorang. Kalau kita tidak waspada maka kita akan semakin jauh dari kebenaran yang kita cari.
Banyak faktor-faktor lain yang bisa menjauhkan seseorang dari kebenaran namun adat Minangkabau hanya menyebutkan pokok-pokoknya saja, seperti yang kita kemukakan diatas.
16. Faktor Yang Menghilangkan Kebenaran
Disamping 4 faktor yang bisa menjauhkan kita dari kebenaran, ada 4 faktor lagi yang harus kita ketahui dan harus diwaspadai agar tidak menghilangkan kebenaran. Keempat faktor tersebut menurut adat Minangkabau adalah sebagai berikut :
16.1. Dek Banyak Kato-Kato
Kata-kata yang terlalu banyak dan berlebih-lebihan tanpa mempertimbangkan ukuran adat, mungkin jo patuik serta metoda berfikir yang diajarkan oleh adat justru bisa menghilangkan kebenaran itu sendiri. Adat mengingatkan kita :
“Banyak kato banyak salah, banyak kecek banyak khilafnyo”.
Oleh karena itu kata-kata yang berlebihan sangat dilarang oleh adat Minangkabau, karena bisa menghilangkan kebenaran.
16.2. Dek Kurenah Kato-Kato
Kurenah maksudnya adalah sikap dan tingkah laku seseorang dalam bakato-kato .dalam mencari kebenaran sesuatu. Menurut adat Minangkabau, kalau kita membicarakan atau menyampaikan sesuatu kebenaran, sampaikanlah dengan cara dan bahasa yang baik dan benar. kalau tidak di patuhi ketentuan adat yang demikian, meskipun baik untuk orang tersebut, tetapi kalau dalam menyampaikannya tidak dengan cara yang baik, justru kebenaran tersebut tidak akan diterima oleh orang tersebut, karena kurenah / sikap dan tingkah laku kita yang salah, penuh emosi dan sebagainya sehingga orang tersebut menjadi karena tersinggung sebelum dia menerima. Dalam hal ini adat mengatakan “Kok pandai bakato-kato bak santan jo tangguli, kok indak pandai bakato-kato bak alu pancukia duri”.
16.3. Dek Simanih Kato-kato
Kebenaran yang disampaikan dengan kata-kata yang dimanis-maniskan, dibuat-buat atau tidak dengan keikhlasan, menurut adat Minangkabau juga bisa menghilangkan kebenaran yang ingin kita sampaikan. Perkataan yang dimanis-maniskan dan dibuat-buat menimbulkan kecurigaan bagi seseorang untuk menerima kebenaran yang kita sampaikan. Oleh sebab itu menurut adat sampaikanlah kebenaran itu dengan cara yang wajar, penuh keikhlasan serta tidak dilebih dan dikurangi dengan perkataan yang dibuat-buat dan dimanis-maniskan.
16.4. Dek Lengah Kato-Kato
Dek lengah kato-kato tidak jauh berbeda dengan dek simanih kato-kato. Dek lengah kato-kato maksudnya, dalam menyampaikan kebenaran sesuatu mengabaikan norma-norma etika dan sopan santun dalam berkata-kata, misalnya dengan siapa kita berbicara, apakah dengan orang tua, ninik mamak, atau dengan anak-anak yang kecil usianya dari kita, semuanya ada ketentuannya menurut adat. Norma-norma etika dan sopan santun dalam berbicara ini, sering disebut dengan jalan nan ampek dalam pergaulan yaitu : Jalan mandaki, jalan manurun, jalan mandata dan jalan malereng.
17. Jalan Nan Ampek Dalam Pergaulan
Dalam pergaulan bermasyarakat, baik dalam lingkungan kaum, suku, korong kampuang atau banagari, kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik mempunyai peranan yang sangat penting. Untuk itu agar kita dapat diterima dalam pergaulan hidup bermasyarakat maka kita harus memahami etika berbicara. Menurut ajaran adat yang disebut dengan adat berbicara ini sering juga disebut jalan nan ampek dalam pergaulan, yaitu :



17.1. Jalan Mandaki
Maksudnya adalah etika atau tata cara bebicara dengan orang yang lebih tua dari kita seperti Ibu, Bapak, Mamak, Nenek, Kakek, dan sebagainya. Ketentuan adat tentang hal ini menyatakan “Jalan mandaki sasak angok”. Jadi kalau kita berbicara dengan orang tua sasak angok, dalam arti kata tidak dapat sekendak hati kita, seperti kita berbicara dengan orang yang sama besar dengan kita, harus meindahkan norma-norma sopan santun adalah yang indah.
17.2. Jalan Manurun
Maksudnya adalah tata cara atau adat berbicara dengan orang yang kecil usianya dari kita. Misalnya adik, kemenakan atau anak-anak kita. Kalau kita bebicara dengan orang yang kecil usianya dari kita ketentuan adat mengajar “Jalan manurun taantak-antak”. Ta antak-antak maksudnya kita harus hati-hati, kalau tidak hati-hati maka cara etika kita yang tidak baik akan ditiru oleh anak-anak tersebut. Atau bisa jadi nasehat dan pengjaran yang kita sampaikan tidak akan dipatuhi oleh anak tersebut. Itulah yang disebut dengan jalan menurun taantak-antak.
17.3. Jalan Mandata
Maksudnya adalah tata cara atau ketentuan adat yang dipahami bila berbicara dengan seseorang yang sama besar atau seusia dengan kita, ketentuan adat mangajarkan “Jalan mandata malenggang sajo”. Kalau kita berbicara sama besar, bisa saja kita memakai kata “Áden”, “Ang” atau “rang”. Tetapi akan sangat janggal dan salah kalau kata-kata tersebut juga kita pakai diwaktu kita berbicara dengan orang tua, sumando / ipar, apalagi anak-anak yang usianya lebih kecil dari kita.
17.4. Jalan Malereng
Maksudnya adalah tata cara / adat berbicara dengan orang yang mempunyai hubungan perkawinan dengan kita seperti ipar, besan, sumando. Berbicara dengan mereka, kita dituntut untuk harus hati-hati dan waspada. Kalau kita berbicara salah bisa membawa akibat yang tidak baik terhadap hubungan perkawinan yang telah dibina oleh kedua keluarga yang berbeda. Itulah yang disebut dengan jalan malereng bahati-hati.
18. Jalan Nan Ampek Di Dunia
Jalan nan ampek didunia maksudnya jalan yang harus dilalui oleh setiap manusia dalam hidup didunia agar selamat mencapai tujuan hidup yang dicita-citakan. Untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan yaitu kebahagian hidup didunia, maka adat Minangkabau menunjukkan 4 jalan yang harus dilalui agar selamat sampai ke tujuan, jalan nan 4 tersebut adalah “Baadat, Balimbago, Bacupak, jo Bagantang”
18.1. Baadat
Maksudnya mengetahui dan mengamalkan seluruh ketentuan adat dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan kedudukan dan fungsi kita ditengah-tengah masyarakat.
Kalau kita sebagai seorang pemimpin/penghulu, maka kita harus mengamalkan seluruh ketentuan-ketentuan adat yang berkaitan dengan tugas kewajiban kita sebagai penghulu/pemimpin terhadap orang yang kita pimpin. Kalau kita sebagai pemangku adat, maka kita harus melaksanakan tugas dan kewajiban kita baik sebagai Mantri, Malin, Pegawai dan Dubalang. Demikian pula halnya bila kita sebagai pemuda/generasi penerus, atau sebagai Wanita/Bundo Kanduang. Pokoknya tidak ada seorangpun yang lepas dari ketentuan Adat di Minangkabu, karena adat tersebut adalah pedoman dan pegangan hidup bermasyarakat di Minangkabau.
“Hiduik dikanduang Adat, Mati dikanduang Tanah”.
Dngan mengamalkan ketentuan-ketentuan adat dalam kehidupan bermasyarakat akan melahirkan sifat “Lamak dek awak, Katuju dek urang”, sehingga seseorang akan mampu merasakan kedalam dirinya tentang apa yang dirasakan oleh orang lain. Kalau setiap orang/pribadi telah mampu merasakan kedalam dirinya tentang apa yang dirasakan oleh orang lain, pasti akan tercipta keamanan dan ketertiban serta keharmonisan dalam kehidupan masyarakat tersebut. Kehidupan yang demikianlah yang harus kita capai dalam kehidupan beradat di Minangkabau, yang disebut dengan kehidupan beradat.
18.2. Balimbago
Yang dimaksud limbago menurut Adat Minangkabu adalah segala sesuatu yang dapat diterima oleh akal dan pikiran manusia, seseuatu yang tidak bisa diterima oleh akal dan pikiran tidak disebut limbago, tetapi angan-angan atau utopia. Dengan kata lain limbago Adat tersebut adalah segala sesuatu yang dimakan oleh “Mungkin Jo Patuik”. Jadi Balimbago maksudnya segala sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan bermasyarakat di Minangkabau harus dimakan oleh “Mungkin Jo Patuik”.
18.3. Bacupak
Cupak adalah salah satu alat ukur tradisional Minangkabau, yang terbuat dari sepotong bambu yang berfungsi untuk menakar beras. Pedagang beras di Minangkabau, kalau akan menjual/membeli beras memakai cupak sebagai takaran. Menurut Adat Minangkabau isi satu cupak beras tersebut 12 tail (12 genggam). Ketentuan dari cupak tidak boleh dilebihi dan dikurangi. Kalau isi cupak tersebut dilebihi/dikurangi akan menimbulkan akibat yang tidak baik. Jadi bacupak maksudnya dalam hidup bermasyarakat kita harus mematuhi dan mentaati segala sesuatu yang telah ditentukan oleh adat sebagai pedoman hidup bermasyarakat di Minangkabau. Cupak ini di Minangkabau dipakai oleh penghulu/ninik mamak untuk menyelesaikan masalah hukum (sengketa) yang terjadi antar anak kemenakan kaum, suku, korong, kampuang dan nagari.
18.4. Bagantang
Disamping cupak sebagai alat ukur tradisional Minangkabau, ada alat ukur tradisional lain yaitu gantang. Gantang juga tersebut dari sepotong bambu, tetapi ukurannya lebih besar dibandingkan cupak. Fungsi gantang untuk menakar padi (gabah).
Ketentuan tentang cupak dan gantang sebagai alat takaran di Minangkabau disebutkan oleh adat. “Cupak duo baleh taih”, gantang kurang dua limo puluah”.
Ketentuan gantang kurang duo limo puluah perinciannya adalah pencerminan dari 20 sifat yang wajib pada Allah, disebut sifat Allah yang 20, dan 20 pula sifat yang mustahil pada Allah. Kemudian diatambah 4 sifat yang wajib pada Rasul dan 4 sifat yang mustahil pada Rasul. Kurang 2, maksudnya 1 (satu) sifat yang harus pada Allah dan 1 (satu) sifat yang harus pada Nabi. Ketentuan ini adalah berupa pengertian kiasan dari adat Minangkabau. Sedangkan arti yang tersirat (sesungguhnya) dari gantang tersebut adalah ketentuan adat yang berkaitan dengan kepercayaan manusia terhadap Allah SWT, dan Nabi Muhammad SAW sebagai utusannya. Sebagai orang Minangkabau yang beriman, kita harus mengetahui sifat Allah dan Nabi Muhammad SAW, seperti digambarkan dalam ketentuan gantang sebagai alat ukur di Minangkabau.
19. Jalan Akhirat Nan Ampek
Yang dimaksud dengan jalan akhirat nan ampek adalah jalan yang harus dilalui oleh setiap insan untuk mencapai kebahagian hidup di akhirat kelak, jalan akhirat ini juga terdiri 4 (empat) macam yang terdiri dari : Iman, Islam, Tauhid dan Makrifat.
19.1. Iman
Maksudnya, setiap orang untuk mencapai kebahagian hidup di akhirat kelak harus beriman kepada Allah SWT seperti yang tertuang dalam Arkanul Iman (rukun iman).
19.2. Islam
Maksudnya setiap orang untuk mencapai kebahagian akhirat disamping mempercayai (iman) kepada Allah SWT juga harus melaksanakan kewajibannya sebagai orang islam seperti yang tertuang dalam Arkhanul Islam (rukun Islam).
19.3. Tauhid
Artinya mengesahkan Allah, tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu selain Allah.
19.4. Makrifat
Artinya mengenal Allah dengan segala sifatnya, melaksanakan seluruh perintahnya dan menghentikannya segala larangannya.
20. Pengetahuan Nan Ampek
20.1. Tahu Pada Diri
Artinya seseorang harus mengetahui akan hakekat dirinya sendiri sebagai manusia yang mempunyai raso jo pareso serta malu jo sopan. Adat mengatakan tahu pada diri artinya mencari raso jo pareso, ditimbang sakik jo sanang, lamak dek awak, katuju dek urang, sakik dek awak, sakik dek urang, apo nan tumbuah rangkuah tungguah ka dado.
20.2. Tahu Pada Urang
Artinya setiap kita dalam hidup bermasyarakat harus mengetahui bahwa setiap manusia tidak ada yang sama sifatnya karena tiap-tiap manusia mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Adat mengatakan tahu pado urang artinya, tahu pado urang diliek kurenonyo, ibarat urang mamapeh ikan, lain lubuak lain ikannya, alampun babagai coraknyo, hitam jo putiah tinggi jo randah, indak buliah disamo ratokan sajo.


20.3. Tahu Pado Tuhan
Artinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan kita harus mengetahui akan zat yang menciptakan kita. Tentang ini adat mengatakan tahu pado Tuhan artinya tahu pada perbuatan dan sifat Tuhan, dikaji sifat yang wajib dan mustahil, dikaji sariat jo hakikat, dikaji tarikat jo makrifatnyo.
20.4. Tahu Pado Alam

Suku Minangkabau

Suku Minangkabau Jumlah populasi kurang lebih 7 juta(2000 Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan Sumatra Barat, Indonesia: 3...