Sponsor

Nan Ampek BAB II

TAHU DI NAN AMPEK

Setelah kita mengetahui prinsip pokok dan ciri-ciri khas dari adat Minangkabau, selanjutnya kita akan membicarakan tentang isi dari kandungan adat Minangkabau yang terdiri dari bilangan ampek (empat), kelipatan bilangan ampek seperti, salapan (dua kali lipek), duo baleh (tigo kali ampek) baik yang tersebut secara implisit dalam ajaran adat, maupun yang kita tangkap secara eksplisit dari ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah adat Minangkabau sebagai pedoman dan pandangan hidup orang Minangkabau.
NAN AMPEK DALAM AJARAN ADAT
1. Empat macam Pusaka/Warisan Nenek Moyang
Sebagai generasi Minangkabau yang hidup di zaman sekarang, sebenarnya kita menerima 4 (empat) mcam peninggalan yang kalau kita nilai merupakan pusaka atau warisan besar yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita orang Minangkabau. Keempat macam peninggalan tersebut, menuntut kita agar tetap memelihara dan melestarikannya dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga kita pantas disebut sebagai generasi beradat atau urang nan tau diampek. Keempat pusaka atau warisan tersebut adalah Adat Minangkabau dengan segala persoalannya, soko (Gelar Kebesaran), Pusaka (Harta Benda) dan sangsoko.
1.1. Minangkabau dengan segala persoalannya.
Adat Minangkabau adalah pedoman dan pegangan hidup bagi masyarakat Minangkabau yang berisikan ketentuan dan aturan hidup yang mengatur seluruh aspek dan bidang kehidupan, mulai dari masalah hidup pribadi, hidup berkeluarga, bakaum, bakorong/bakampuang dan sampai kepada hidup banagari, bahkan dapat kita tetapkan untuk mengatur kehidupan berbangsa serta bernegara.
Adat mengatur tentang bagaimana caranya seseorang harus berbuat dan bertingkah laku dalam hidup bermasyarakat. Adat menentukan pula mana perbuatan yang baik dan benar, serta mana perbuatan yang sumbang dan mana perbuatan yang salah. Adat juga mengatur bagaimana caranya menciptakan masyarakat yang aman dan tertib dengan mengutamakan prinsip-prinsip kebersamaan, persatuan dan kesatuan, serta musyawarah untuk mufakat. Selain itu adat juga mengatur persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kehidupan politik/pemerintahan, ekonomi, sosial budaya dan sebagainya.
Semua ketentuan dan aturan adat tersebut, menuntut kita sebagai orang Minangkabau untuk senantiasa memahami dan menghayati serta mengamalkannya dalam setiap aktifitas kehidupan kita sehari-hari. Kalau tidak demikian halnya maka kita tidak pantas disebut sebagai orang Minangkabau yang tahu dinan ampek, mala sebaliknya kita akan dicap sebagai orang yang tidak beradat tidak tau dinan ampek.
1.2. Soko (Gelar Kebesaran)
Soko adalah gelar kebesaran atau gelar pusaka yang dimiliki suatu kaum di Minangkabau. Setiap kaum pasti memiliki soko (gelar kebesaran) kaumnya. Soko sebagai gelar kebesaran adalah merupakan lambang persatuan dan kesatuan kita harga diri suatu kaum yang disandang atau dijabat oleh salah seorang anggota kaum yang laki-laki setelah memenuhi persyaratan dan mekanisme tertentu menurut adat.

Seseorang yang ditunjuk dan bertugas sebagai pemimpin dalam kaumnya harus memenuhi persyaratan dan mekanisme yang ditentukan untuk menyandang soko (gelar kebesaran) tersebut. Ia bertanggung jawab untuk membimbing dan memelihara seluruh anggota kaum (anak kemenakan) kearah yang diinginkan oleh adat.
Soko sebagai gelar kebesaran suatu kaum di Minangkabau, di samping berfungsi sebagai lambang persatuan suatu kaum, juga merupakan simbol harga diri dan martabat suatu kaum. Apabila salah seorang dari anggota kaum melakukan suatu perbuatan yang tercela maka otomatis akan merusak nama baik atau harga diri seluruh kaum, karena menurut adat seluruh anggota kaum tersebut merupakan satu kesatuan dari keturunan yang sama secara geonologis (urang batali darah). Mereka memiliki perasaan yang sama, yaitu sahino, samalu, sasakik, sasanang, sakik surang damam barampek, sikua kabau bakubang, sadonyo kanai luluaknyo, sorang makan cubadak, sadonyo kanai gatahnyo.
Soko ini menurut adat diwarisi secara turun temurun dari mamak ke kemenakan/anggota kaum. Itulah yang disebut oleh ketentuan adat “Soko turun tamurun, pusako jawek bajawek. Soko di warisi secara turun temurun oleh anggota kaum (kemenakan) yang di bawah payung dan di dalam lingkungan cupak adat. Artinya yang berhak menjabat soko adalah kemenakan (keponakan) laki-laki yang bertali darah, yang berada dibawah payuang kaum tersebut. Dilingkungan cupak adat artinya setelah memenuhi persyaratan, prosedur serta mekanisme tertentu yang ditetapkan oleh adat.

Jika terjadi suksesi atau penggantian kepemimpinan dalam suatu kaum, maka ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan menjabat penghulu (pemimpin) suatu ketentuan yang “soko tatap, pusako baranjak”, artinya soko tersebut tidak boleh berpindah atau dijabat oleh orang lain yang tidak anggota kaum tersebut. Dengan kata lain soko tetap dijabat atau diwarisi oleh kemenakan yang menjadi anggota kaum tersebut, dimana antara orang yang akan menggantikan dengan orang yang menyandang soko tersebut ada hubungan darah (seketurunan) atau batali nasab.
1.3. Pusako (Harta Benda)
Kalau soko (gelar kebesaran) di Minangkabau merupakan warisan yang bersifat immaterial, yang diterima sebagai pusaka atau warisan dari nenek moyangnya, maka pusako adalah warisan yang bersifat material yang diterima dari nenek moyang. Pusako tersebut dapat berupa ameh, perak, sawah, ladang, pandam kuburan, benda buatan dan sebagainya.
Harta benda atau pusaka tersebut berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup suatu kaum secara sosial ekonomi. Tanpa dukungan sumber ekonomi yang memadai, maka suatu kaum mustahil dapat bertahan. Oleh sebab itu harta pusako suatu kaum yang berupa sawah dan ladang tidak boleh diperjual belikan. Hal ini dengan tegas telah ditetapkan oleh adat. Jua indak dimakan bali, sando indak dimakan gadai. Dengan kata lain transaksi yang tertinggi yang berkaitan dengan harta pusaka di Minangkabau yang boleh dilakukan hanyalah “gadai”. Gadai ini pun harus memenuhi persyaratan yang sangat selektif dan ketat menurut adat, sedangkan transaksi berupa jual beli terhadap harta pusaka di Minangkabau tidak dibenarkan sama sekali oleh adat.
1.4. Sangsoko
Berbeda halnya dengan soko dan pusako, maka sangsoko adalah gelar pusaka yang kita warisi dari nenek moyamg dalam kehidupan bersama di dalam lingkungan banagari. Sangsoko ini kita kenal seperti, Chatib/Bilal/ Imam, Manti dan Dubalang Nagari.
Sangsoko ini pemakaiannya ditetapkan berdasarkan kesepakatan/musyawarah diantara Ninik Mamak dalam suatu Nagari. Misalnya yang menjabat gelar Chatib di tetapkan salah seorang dari suku “A” yang ada dalam suatu Nagari, gelar Bilal dijabat oleh salah seorang dari suku “B”, demikian juga gelar Manti dan Dubalang. Tentang hal ini adat menyatakan “Soko tetap, Pusako baranjak, Sangsoko pakai mamakai”.
2. Jenis Adat
Adat Minangkabau dalam fungsinya sebagai pedoman dan pegangan hidup masyarakat di Minagkabau, isinya secara garis besar terdiri dari 4 (empat) jenis. Dalam kehidupan sehari-hari di Minangkabau keempat jenis/tingkatan adat tersebut lazim disebut dengan istilah adat istiadat Minangkabau. Karena adat Minangkabau terdiri dari ampek (empat) jenis, maka biasa juga disebut dengan adat nan ampek. Keempat jenis adat tersebut kalau dilihat dari segi sifatnya dapat dibagi atas 2 (dua) bagian, yaitu :
1. Adat babuhua mati
2. Adat babuhua sentak
Ketentuan adat nan babuhua mati adalah merupakan ketentuan-ketentuan adat yang bersumber pada kenyataan-kenyataan dan fenomena-fenomena serta sifat-sifat yang terdapat pada alam yang tidak mungkin bisa dirobah oleh manusia dengan cara apapun juga, karena memang sudah demikian ditetapkan oleh Allah Maha Pencipta. Adapun contoh dari ketentuaan adat nan babuhua mati tersebut misalnya : sifat api mambaka, sifat aia mambasahi, atau matahari terbit di ufuk Timur, kemudian terbenam di ufuk Barat. Semua itu sudah merupakan sunahtullah (ketetapan) dari Allah Maha Pencipta. Itulah sebabnya dikatakan bahwa adat nan babuhua mati tersebut takkan dapat di robah oleh manusia dengan cara dan upaya apapun juga. (tak lakang dek paneh, tak lapuak dek ujan)
Kemudian ketentuan-ketentuan adat nan babuhua sintak adalah ketentuan-ketentuan adat yang disusun oleh ninik mamak untuk mengatur kehidupan masyarakat yang dapat dirobah oleh manusia melalui proses musyawarah mufakat. Misalnya ketentuan-ketentuan adat yang berkaitan dengan tata cara mengantar dan menjeput marapulai dalam adat perkawinan di Minangkabau, baik mengenai persyaratan ataupun tata cara menjeput marapulai. Ketentuan tersebut dapat dirobah dengan persyaratan harus dengan musyawarah mufakat oleh para ninik mamak dalam nagari yang bersangkutan.
Adapun adat nan ampek tersebut adalah adat nan sabana adat, adat nan di adatkan, adat nan taradat, dan adat istiadat.
2.1. Adat Nan Sabana adat
Adat nan sabana adat adalah ketentuan-ketentuan adat berupa kenyataan-kenyataan yang terdapat pada alam sekitar kita. Kenyataan-kenyataan tersebut bisa berupa sifat-sifat alam, baik flora maupun fauna, warna-warni ataupun gejala-gejala yang terdapat pada alam yang ada di sekitar kita yang dapat ditangkap dengan panca indera manusia. Contoh dari adat nan sabana adat ini, misalnya sifat aia mambasahi, sifat api mambaka atau adat lauik timbunan ombak, adat gunuang timbunan kabukik. Atau yang berupa warna-warna, misalnya : hitam tahan tapo, putiah tahan sasah, nan kuriak kundi, nan merah sago dan sebagainya.
Jadi sumber adat nan sabana adat adalah kenyataan-kenyataan yang terdapat pada alam yang merupakan hakikat dari hukum-hukum yang diciptakan oleh Allah Maha Pencipta. Yang dimaksud dengan alam adalah alam takambang (alam yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia), alam memiliki sifat-sifat tertentu. Sifat alam ada yang berubah-ubah, dan ada pula yang tetap. Sifat alam yang tetap dan tidak berobah inilah yang disebut dengan ungkapan adat :
Indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan, dianjak indak layuah, dibubuik (dicabuik) indak mati”.
Dari keempat jenis adat ini, adat nan sabana adat mempunyai kedudukan yang tertinggi dan menjadi dasar dari ketentuan adat berikutnya yaitu adat yang diadatkan dan adat teradat serta adat istiadat. Adat nan sabana adat merupakan dasar pokok dari tiga jenis adat berikutnya dan merupakan ketentuan pelaksanaan dari ketentuan adat nan sabana adat.
2.2. Adat Nan Diadatkan
Adalah ketentuaan-ketentuan adat yang dibuat dan disusun oleh nenek moyang orang Minangkabau yaitu Dt. Parpatih Nan Sabatang dan Dt. Katumanggungan, yang kemudian dihimpun dalam bentuk pepatah, petitih, mamang, bidal, pantun dan gurindam adat untuk mengatur kehidupan bermasyarakat di Minangkabau.
Kalau kita bandingkan antara adat nan sabana adat dengan adat nan diadatkan, perbedaannya yang prinsip terletak pada subjek yang menciptakannya. Adat nan sabana adat di ciptakan oleh Allah Maha Pencipta seluruh alam, yang menciptakan kenyataan-kenyataan/ketentuan-ketentuan yang terdapat pada alam yang biasa kita sebut dengan hukum Allah/hukum kodrat atau sunatullah. Sedangkan adat nan diadatkan penciptanya adalah manusia (buatan manusia), yaitu nenek moyang orang Minangkabau dalam hal ini adalah Dt. Perpatih Nan Sabatang dan Dt. Ketumanggungan.
Ruang lingkup kehdupan yang diatur oleh adat nan diadatkan sangat luas. Hampir seluruh segi kehidupan bermasyarakat diatur oleh adat nan diadatkan, mulai dari masalah yang kecil-kecil misalnya tata cara makan dan minum, berjalan, bergaul dan sebagainya, sampai masalah yang berkaitan dengan bidang Ekonomi, Politik, Sosial dan sebagainya.
Contoh ketentuan adat nan diadatkan yang berkaitan dengan tata cara makan dan minum :
Makan sasuok duo suok, cukuik ka tigo kanyang
Minum saraguak duo raguak, cukuik ka tigo pueh..
Jan makan saku tak abih
Jan minum saraguak abih
Contoh ketentuan adat nan diadatkan yang berkaitan dengan tata cara berjalan dan berbicara
Bajalan paliharo kaki, bakato paliharo lidah
Maju salangkah madok suruik, bakato sapatah dipikiri
Mangango mangko mangecek
Contoh ketentuan adat nan diadatkan yang berkaitan dengan tata cara bergaul dalam bermasyarakat.
Nan tuo dihormati, nan ketek dikasihi, samo gadang baok bakawan
Contoh ketentuaan adat nan diadatkan tentang masalah politik/pemerintah :
Kamanakan barajo ka mamak
Mamak barajo ka panghulu
Panghulu barajo ka mufakat
Mufakat barajo ka nan bana
Bana badiri sandirinyo
Manuruik mungkin jo patuik


Contoh ketentuan adat yang diadatkan yang berkaitan dengan masalah ekonomi:
Ka sawah babungo ampiang, ka bukik babungo batu, karimbo babungo kayu
Ka sungai babungo pasia, kalauik babungo karang, katambang babungo basi
Nan lunak di tanam baniah, nan kareh di buek ladang, nan bancah palapeh itiak
Padang ana bakeh taranak, batanam nan bapucuak, mamaliharo nan banyawa.
Contoh ketentuan adat nan diadatkan tentang masalah sosial :
Kok sakik basilau, kok mati bajanguak
Kaba elok baimbauan, kaba buruak bahamburan
Barek samo di pikua, ringan samo dijinjiang
Kok ado samo di makan, kok indak samo di cari
Kabukik samo mandaki, kalurah samo manurun
Tatungkuik samo makan tanah, tatilantang samo minum ambun.
Demikianlah antara lain beberapa contoh dari ketentuan adat nan diadatkan.
2.3. Adat Nan Teradat
Adalah ketentuan-ketentuan adat yang dibuat dan disusun oleh ninik mamak dalam suatu nagari dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan pokok dari adat Minangkabau sesuai dengan keadaan dan kebutuhan dari masyarakat nagari yang bersangkutan.
Ketentuan-ketentuan dari adat nan teradat ini berbeda-beda antara nagari yang satu dengan nagari yang lain di Minangkabau. Perbedaan ini di sebabkan oleh karena berbedanya keadaan dan kebutuhan masing-masing nagari di Minangkabau.

Sifat adat nan teradat ini disebut dalam ungkapan adat yang berbunyi :
Lain lubuak lain ikannyo.
Lain padang lain balalangnyo.
Lain nagari lain pulo adatnyo.
Jadi tegasnya ketentuan adat nan teradat ini ruang lingkup berlakunya hanya terbatas pada nagari tertentu, dan tidak berlaku bagi nagari lain. Ketentuan adat nan teradat ini disebut juga dengan “ adat salingka nagari “.
Perlu diketahui bahwa ketentuan pokok dari adat Minangkabau itu sama untuk seluruh Minangkabau. Sedangkan yang berbeda hanya ketentuan pelaksanaanya saja. Ketentuan pokok ini dikatakan oleh ungkapan adat “adat sabatang, pusako sabuah. Ketentuan pokok ini terdapat dalam ketentuan adat nan sabana adat dan adat nan diadatkan. Ketentuan pelaksanaan dari ketentuan pokok diatur dalam adat nan teradat dan adat istiadat. Ketentuan-ketentuan pelaksanaan inilah yang berbeda antara nagari yang satu dengan nagari yang lainnya. Contoh dari ketetntuan adat nan teradat ini misalnya ketentuan tentang perkawinan.
Ketentuan pokok tentang perkawinan di Minangkabau yaitu :
Sigai mancari anau, anau tatap sigai baranjak
Ayam putiah tabang siang, basuluah matohari, bagalanggang mato rang banyak
Datang bajampuik, pai baanta.
Maksud dari ketentuan adat diatas adalah kalau terjadi perkawinan di Minangkabau, tetap sigai mencari anau atau laki-laki/ calon suami yang datang kerumah perempuan/ calon istrinya. Dan kalu terjadi perceraian, maka laki-laki yang pergi meninggalkan rumah Perempuan. Tata cara dari perkawinan tersebut : datang bajapuik, pai baanta, artinya pihak laki-laki / calon suami/ marapulai menuju rumah perempuan (wanita), diantar bersama-sama oleh keluarga pihak laki-laki dan dijemput bersama-sama oleh pihak keluarga perempuan.
Ayam putiah tabang siang, basuluah matohari bagalanggang mato rang banyak, maksudnya perkawinan itu jelas dan diketahui oleh orang banyak dan khalayak ramai. Jadi jelas siapa yang kawin, anak siapa, kemenakan siapa dan sukunya apa. Demikianlah ketentuan-ketentuan pokok tentang perkawinan di Minangkabau. Ketentuan ini berlaku sama untuk seluruh nagari di Minangkabau. Sedangkan yang berbeda adalah ketentuan pelaksanaanya (adat nan teradat). Misalnya ketentuan dan syarat-syarat tentang anta japuik marapulai (calon suami), akan berbeda-beda antara nagari yang satu dengan nagari yang lain.
2.4. Adat Istiadat
Adat istiadat adalah ketentuan adat yang dibuat dan disusun berdasarkan musyawarah mufakat oleh ninik mamak dalam suatu nagari. Adat istiadat ini mengatur tentang masalah kesukaan dan permainan anak nagari, sesuai dengan mungkin jo patuik. Ketentuan adat ini juga berbeda-beda antara satu nagari dengan nagari yang lain karena berbedanya kesukaan dan kemauan masyarakat nagari yang satu dengan nagari yang lain.
Bentuk dari adat istiadat ini adalah berupa kesenangan atau hobbi masyarakat suatu nagari, seperti kesenian, olah raga. Kesenangan dan kesukaan anak nagari itu dikukuhkan oleh para ninik mamak nagari tersebut menjadi ketentuan adat istiadat.
3. Kato-Kato Adat
Yang dimaksud dengan kato-kato adat yaitu pepatah-petitih yang disusun oleh nenek moyang orang Minangkabau yaitu Dt. Perpatih Nan Sabatang dan Dt. Katumanggungan yang dijadikan sebagai dasar hukum (pedoman) dalam setiap pekerjaan yang dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Kato-kato adat ini ada pula empat macam yang disebut dengan kato nan ampek yaitu :
3.1. Kato Pusako
Sebagai contoh dari kato pusako, misalnya dalam melakukan suatu pekerjaan, baik secara perorangan maupun secara bersama-sama harus mempedomani kato pusako yang berbunyi :
Mamaek manuju barih, tantang bana lubang katambuak
Malantiang manuju tangkai, tantang bana buah ka rareh
Manabang manuju pangka, tantang bana rueh ka rabah
Artinya dalam melakukan suatu pekerjaan, baik perorangan ataupun bersama-sama agar pekerjaan tersebut mencapai tujuan yang baik dan tidak sia-sia harus mempertimbangkan segala sesuatu, baik dan buruk mudarat dan manfaat dari perbuatan tersebut.
3.2. Kato Mufakat
Kato mufakat adalah suatu hasil yang diperoleh melalui suatu proses musyawarah mufakat oleh pihak yang berkepentingan tentang masalah yang berkaitan dengan kepentingan bersama. Ketentuan adat tentang kato mufakat ini mengatakan :
Baiyo-iyo jo adiak, batido-tido jo kakak
Dibulekkan aia ka pambuluh, dibulekkan kato ka mufakat
Bulek baru digolekkan, pipiah baru dilayangkan
Bulek jan basuduik, picak jan basandiang
Data balantai papan, licin balantai camin
Tapawik makanan lantak, takuruang makanan kunci
Duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang
Kato surang dibulati, kato basamo dipaiyokan.
Hasil atau kekuatan yang dicapai oleh kato mufakat adalah kekuasaan yang tertinggi dan berlaku sebagai hukum bagi mereka yang membuatnya. Tentang hal ini adat mengatakan :
Ramilah pasa Batanghari, sabalik bapaga kawek
Randah tak dapek dilangkahi, tinggi tak dapek kito panjek
Walaupun inggok nan mancakam, kuku nan tajam tak baguno
Bago mamegang tampuak alam, kato mufakat nan kuaso
Dalam mencapai mufakat wajar saja terjadi adanya perbedaan pendapat dan silang pendapat diantara para peserta musyawarah karena berbeda-beda latar belakang kehidupan, tentang hal ini adat mengatakan :
Pincanglah biduak rang Tiku, badayuang sambia manungkuik
Basilang kayu dalam tungku, baitu api mangkonyo iduik
3.3. Kato Dahulu Batapati
Kato Dahulu Batapati adalah perkataan (perjanjian) yang telah diikrarkan semula harus ditepati. Perkataan atau janji yang telah diucapkan itu dinamakan “kato dahulu”. Menurut ketentuan adat di Minangkabau perkataan/janji yang telah diucapkan atau diikrarkan tersebut harus ditepati. Pepatah adat tentang hal ini mengatakan :
Suri tagantuang batanuni, kayu batakuak barabahkan, luak taganang nan basauak.
Kato dahulu batapati, kato kemudian kato bacari, janji babuek ditapati
3.4. Kato Kamudian Kato Bacari
Kato Kamudian Kato Bacari maksudnya adalah kata-kata yang diucapkan dalam suatu musyawarah dan hampir mencapai kesepakatan (kata mufakat) tiba-tiba datang suatu aral melintang, sehingga musyawarah yang sudah hampir mencapai mufakat tidak dapat dilanjutkan, dan diundur sampai batas waktu tertentu. Setelah sampai pada batas waktu tertentu untuk melanjutkan musyawarah yang sudah hampir mencapai kata mufakat, muncul usul/pendapat/ pemikiran baru dari peserta musyawarah, tetapi usul pendapat/pemikiran yang muncul kemudian tersebut lebih baik dari semula, namun prinsipnya sama. Maka hal seperti ini dinamakan : ” kato kamudian kato bacari”.
Tentang hal ini adat mengatakan :
Manusia basifat kilaf, Tuhan basifat qadim
Karano pikiran indak sakali tibo, agak-agak indak sakali datang
Pipik indak sakali inggok, mako dicari kato kamudian
3.5. 4 (empat) jenis Adat Ketika Pertama Kali Adat disusun
Empat jenis adat seperti yang kita uraikan diatas, yaitu Adat sabana adat, adat nan diadatkan, adat teradat, serta adat istiadat adalah merupakan, pembagian adat setelah mengalami pertumbuhan dan perkembangan serta melalui proses perjalanan yang panjang dari pembagian adat ketika pertama kali adat itu dibuat dan disusun di Nagari Pariangan Padang Panjang sebagai daerah asal Minangkabau.
Sebenarnya ketika pertama kali adat itu dibuat disusun sudah dikenal juga ada 4 (empat) jenis pembagian adat seperti yang terungkap oleh pituah adat yang berbunyi :
Dari mano asa titiak palito
Dibaliak telong nan batali
Tarang bulan bamego-mego
Cahayo manyambuang ka tangah padang
Dari mano asa niniak moyang kito
Dari lereng gunuang merapi
Di Daerah Pariangan Padang Panjang
Di sinan dibuek adat jo limbago
Di susun adat ampek macam
Pertamo : Adat Bajanjang naik, Batanggo turun
Kaduo : Adat Babaris Babalabeh
Katigo :Adat bacupak jo bagantang
Kaampek : Adat batiru batuladan
3.6. Adat Bajanjang Naik, Batanggo Turun
Yaitu ketentuan adat yang mengatur hubungan antara social di tengah-tengah masyarakat , misalnya antaro nan gadang, jo nan ketek, antaro nan tuo, jo nan mudo, antaro atasan jo bawahan, antaro mamak jo kamanakan, antoro ibu bapak jo anak, antaro kaum jo kerabat.
3.7. Adat Babarih Babalabeh
Yaitu adat yang mengatur tentang masalah Sako jo Pusako, ulayat kaum jo kerabat, Ulayat Korong jo Kampuang, Ulayat Nagari jo luak, keteknyo balingkuang aua, gadang balingka tanah, bataratak jo badusun, bakato jo banagari.
3.8. Adat Bacupak jo Bagantang
Yaitu adat yang mengatur tentang ketentuan-ketentuan hukum ma hukum didalam korong jo kampuang, sampai ka Koto jo Nagari, kok tumbuah silang sangketo atau pun cakak jo kalahi. Mako dipakai adat bacupak. Jo bagantang.
3.9. Adat Batiru Batuladan
Yaitu adat yang mengatur tentang sopan santun sarato jo maso nan ditampuah. Sakali aia gadang, sakali tapian baranjak, sakali musim batuka, sakali caro baganti.


4. Hukum
Yang dimaksud dengan hukum menurut adat Minangkabau adalah ketentuan adat yang harus dipedomani oleh seorang ninik mamak dalam menyelesaikan suatu sengketa atau masalah/ perkara yang terjadi antara anak kemenakan atau sesama warga masyarakat demi untuk mencapai suatu keputusan yang seadil-adilnya. Seperti kata adat “Hukum Batando Aso, Adat Batando Duo”. Ketentuan Hukum tersebut menurut adat ada 4 (empat) macam, yaitu :
4.1. Hukum Ilmu
Seseorang penghulu atau ninik mamak yang berfungsi sebagai hakim dalam menyelesaikan suatu sengketa yang terjadi diantara anak kemenakan, (warga masyarakat) harus mengetahui duduk perkara tentang masalah yang disengketakan. Ninik mamak tersebut harus menyelesaikan sengketa tersebut menurut ilmu pengetahuan tentang masalah yang disengketakan. Sangat dialarang seorang ninik mamak yang berfungsi sebagai hakim dalam memutuskan suatu perkara atau sengketa tanpa mengetahui duduk permasalahan yang disengketakan. Kalau dalam penyelesaian masalah tersebut melibatkan lebih dari seorang hakim maka diantara hakim tersebut harus ada kesamaan visi dan persepsi tentang masalah yang disengketakan dan tidak boleh diantara mereka adanya perbedaan pendapat tentang masalah yang disengketakan. Hal inilah yang disebutkan dalam ungkapan adat : “Sakato hakim jatuah hukum, batimpang hakim tapampeh hukum”.
4.2. Hukum Kurenah
Seseorang ninik mamak atau hakim dalam menyelesaikan suatu sengketa atau perkara didasarkan kepada kurenah (sikap dan tingkah laku) seseorang dalam kehidupan bermsayarakat. Hal ini yang disebutkan dalam ungkapan adat : “Bajua bamurah-murah, batimbang jawab ditanyoi, bajalan bagageh-gageh, kacondong mato rang banyak”.
Maksud dari ungkapan tersebut adalah bahwa seseorang yang karena sikap dan tingkah lakunya yang kurang baik ditengah masyarakat, bisa dicurigai sebagai pelaku suatu masalah yang sedang terjadi, misalnya seseorang berjalan tergesa-gesa, suatu pertanda ada sesuatu yang mencurigakan yang telah dilakukannya.
4.3. Hukum Bainah
Bainah artinya sumpah. Hukum bainah maksudnya adalah seseorang penghulu atau ninik mamak dalam menyelesaikan suatu sengketa atau perkara antara pihak yang bersengketa didasarkan kepada sumpah yang diucapkan oleh salah satu pihak dari mereka yang bersengketa. Selanjutnya pihak yang bersumpah oleh hakim diperintahkan untuk membuktikan sumpah yang diikrarkannya.
4.4. Hukum Perdamaian
Suatu proses penyelesaian sengketa oleh ninik mamak dimana diantara pihak yang bersengketa mempunyai hubungan kekeluargaan yang dekat seperti kata adat : “urang nan saitiak saayam, sarumah satanggo, sajorong sakampuang”, jika terjadi sengketa diantara mereka diselesaikan berdasarkan perdamaian.

Suku Minangkabau

Suku Minangkabau Jumlah populasi kurang lebih 7 juta(2000 Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan Sumatra Barat, Indonesia: 3...